Sasana Hinggil, Tempat Penting Tersyiarnya Agama Islam
Sasana Hinggil Dwi Abad yang kebetulan masih satu area dengan
Alun-alun Kidul ini dulunya bernama Siti Hinggil Kidul. Awalnya, tempat
ini dipergunakan Sultan untuk memantau prajurit.
Bangunan Sasana Hinggil berada di bagian paling belakang Kraton.
Tepatnya di antara Magangan (tempat para calon Abdi Dalem) dan sebelum
Plengkung gading di ujung selatan Kraton Jogja. Luas kompleks Sasana
Hinggil Dwi Abad kurang lebih sekitar 500 meter persegi. Secara harfiah
Sasana berarti Singgasana, sementara Hinggil berarti lebih tinggi dari
altarnya. Sesuai dengan namanya, permukaan tanah memang lebih tinggi
sekitar 150 Centimeter dari permukaan tanah di sekitarnya.
Bangunan ini didirikan pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono I
(1755-1792) dan kala itu masih bernama Siti Hinggil Kidul. Namun pada
1956 tepatnya pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII
kompleks bangunan mengalami perbaikan serta ditambah jumlah bangunannya.
Seiring dengan perombakan itu, maka bangunan berubah menjadi Gedhong
Sasana Hinggil Dwi Abad. Pergantian nama bersamaan peringatan 200 tahun
Kota Jogja.
Pada awal mulanya Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad digunakan untuk
latihan perang prajurit junior. Tempat ini juga dijadikan Sultan untuk
memantau prajurit melakukan gladi bersih upacara Grebeg. Selain itu juga
digunakan Sultan menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan) yang
dilakukan di Alun-alun depan Sasana Hinggil.
Pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, fungsi Sasana Hinggil
diperluas menjadi tempat pergelaran budaya seperti tempat
penyelenggaraan wayang kulit. BS Ronomartono abdi dalem di Kraton
Ngayogyakarto Hadiningrat mengatakan kegiatan itu mulai intensif
dilaksanakan ketika Islam mulai masuk tanah Jawa.
“Seperti diketahui masuknya Islam masuk di Jawa tidak terlepas dari
peran Sunan Kalijaga yang menggunakan medium wayang sebagai media
memberikan pengetahuan agama kepada rakyat,” kata dia saat ditemui
Harianjogja.com, di Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat, Rabu (11/6/2014).
Selain itu, kata dia, Gedhong Sasana Hinggil juga menjadi tempat
sakral. Sebab lokasi ini menjadi pembuka prosesi perjalanan panjang
upacara pemakaman Sultan sebelum dibawa ke permakaman Raja-raja Mataram
di Imogiri, Bantul.
“Sebelum dibawa menuju Imogiri [Makam Para Raja] , Sultan harus diletakkan terlebih dahulu di Gedung Sasana Hinggil,” jelasnya.
0 komentar:
Posting Komentar