Rabu, 31 Desember 2014

Gambaran Tembang Macapat Dalam Kehidupan

Penjabaran Tembang Macapat Dalam Kehidupan


1. MIJIL
Mijil artinya lahir. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan perempuan menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di rahim sang ibu, sudah menjadi kehendak Hyang Widhi si jabang bayi lahir ke bumi. Disambut tangisan membahana waktu pertama merasakan betapa tidak nyamannya berada di alam mercapadha. Sang bayi terlanjur enak hidup di zaman dwaparayuga, namun harusnetepi titah Gusti untuk lahir ke bumi. Sang bayi mengenal bahasa universal pertama kali dengan tangisan memilukan hati. Tangisan yang polos, tulus, dan alamiah bagaikan kekuatan getaranmantra tanpa tinulis. Kini orang tua bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya menjaga sikap dan laku prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang (bayi) lahir dengan selamat. Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi Rahmat atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.
Tembang Mijil ngemu sifal : prihatin, ngemurasa, lega
Tembang macapat mijil laras pelog pathet barang  dengan titilaras dan cakepan dapat di down load pada link di bawah ini :
http://www.youtube.com/watch?v=oD2lGnGwgbg 

2. MASKUMAMBANG
Setelah lahir si jabang bayi, membuat hati orang tua bahagia tak terperi. Tiap hari suka ngudang melihat tingkah polah sang bayi yang lucu dan menggemaskan. Senyum si jabang bayi membuat riang bergembira yang memandang. Setiap saat sang bapa melantunkan tembang pertanda hati senang dan jiwanya terang. Takjub memandang kehidupan baru yang sangat menantang. Namun selalu waspada jangan sampai si ponang menangis dan demam hingga kejang. Orang tua takut kehilangan si ponang, dijaganya malam dan siang agar jangan sampai meregang. Buah hati bagaikan emas segantang. Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tuannya mengukir masa depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa.
Tembang maskumambang ngemu sifat : ngeres, nelangsa.
Tembang  macapat maskumambang laras pelog pathet barang  dengan titilaras dan cakepan dapat di down load pada link di bawah ini :
http://www.youtube.com/watch?v=lf0J-syqwRU 

3. KINANTI
Semula berujud jabang bayi merah merekah, lalu berkembang menjadi anak yang selalu dikanthi-kanthi kinantenan orang tuannya sebagai anugrah dan berkah. Buah hati menjadi tumpuan dan harapan. Agar segala asa dan harapan tercipta, orang tua selalu membimbing dan mendampingi buah hati tercintanya. Buah hati bagaikan jembatan, yang dapat menyambung dan mempererat cinta kasih suami istri. Buah hati menjadi anugrah ilahi yang harus dijaga siang ratri. Dikanthi-kanthi (diarahkan dan dibimbing) agar menjadi manusia sejati. Yang selalu menjaga bumi pertiwi.
Tembang kinanthi ngemu sifat : tresna, asih, seneng.
Tembang  macapat kinanthi laras slendro pathet manyura  dengan titilaras dan cakepan dapat di down load pada link di bawah ini :
http://www.youtube.com/watch?v=_rIKQWi46Yc 

4. SINOM
Sinom isih enom. Jabang bayi berkembang menjadi remaja sang pujaan dan dambaan orang tua dan keluarga. Manusia yang masih muda usia. Orang tua menjadi gelisah, siang malam selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak salah arah. Walupun badan sudah besar namun remaja belajar hidup masih susah. Pengalamannya belum banyak, batinnya belum matang, masih sering salah menentukan arah dan langkah. Maka segala tindak tanduk menjadi pertanyaan sang bapa dan ibu. Dasar manusia masih enom (muda) hidupnya sering salah kaprah.
Tembang sinom ngemu sifat : grapyak.
Tembang  macapat sinom laras pelog pathet 6  dengan titilaras dan cakepan dapat di down load pada link di bawah ini :
http://www.youtube.com/watch?v=QU9vzYNEBnE 

5. DHANDHANGGULA
Remaja beranjak menjadi dewasa. Segala lamunan berubah ingin berkelana. Mencoba hal-hal yang belum pernah dirasa. Biarpun dilarang agama, budaya dan orang tua, anak dewasa tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar melamun dalam keindahan dunia fana. Tak sadar jiwa dan raga menjadi tersiksa. Bagi anak baru dewasa, yang manis adalah gemerlap dunia dan menuruti nafsu angkara, jika perlu malah berani melawan orang tua. Anak baru dewasa, remaja bukan dewasa juga belum, masih sering terperdaya bujukan nafsu angkara dan nikmat dunia. Sering pula ditakut-takuti api neraka, namun tak akan membuat sikapnya  menjadi jera. Tak mau mengikuti kareping rahsa, yang ada selalu nguja hawa. Anak dewasa merasa rugi bila tak mengecap manisnya dunia. Tak peduli orang tua terlunta, yang penting hati senang gembira. Tak sadar tindak tanduknya bikin celaka, bagi diri sendiri, orang tua dan keluarga. Cita-citanya setinggi langit, sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup irit. Jika tersinggung langsung sengit. Enggan berusaha yang penting apa-apa harus tersedia. Jiwanya masih muda, mudah sekali tergoda api asmara. Lihat celana saja menjadi bergemuruh rasa di dada. Anak dewasa sering bikin orang tua ngelus dada. Bagaimanapun juga mereka buah dada hati yang dicinta. Itulah sebabnya orang tua tak punya rasa benci kepada pujaan hati. Hati-hati bimbing anak muda yang belum mampu membuka panca indera, salah-salah justru bisa celaka semuanya
Tembang dhandhanggula ngemu sifat : luwes, ngresepake.
Tembang  macapat dhandhanggula laras pelog pathet 6  dengan titilaras dan cakepan dapat di down load pada link di bawah ini :
http://www.youtube.com/watch?v=cU7srYIlToI 

6. ASMARANDANA
Asmaradana atau asmara dahana yakni api asmara yang membakar jiwa dan raga. Kehidupannya digerakkan oleh motifasi harapan dan asa asmara. Seolah dunia ini miliknya saja. Membayangkan dirinya bagaikan sang pujangga atau pangeran muda. Apa yang dicitakan haruslah terlaksana, tak pandang bulu apa akibatnya. Hidup menjadi terasa semakin hidup lantaran gema asmara membahana dari dalam dada. Biarlah asmara membakar semangat hidupnya, yang penting jangan sampai terlena. Jika tidak, akan menderita dikejar-kejar tanggungjawab hamil muda. Sebaliknya akan hidup mulia dan tergapai cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas orang tua membimbing mengarahkan agar tidak salah memilih idola. Sebab sebentar lagi akan memasuki gerbang kehidupan baru yang mungkin akan banyak mengharu biru. Seyogyanya suka meniru tindak tanduk sang gurulaku, yang sabar membimbing setiap waktu dan tak pernah menggerutu. Jangan suka berpangku namun pandailah  memanfaatkan waktu. Agar cita-cita dapat dituju. Asmaradana adalah saat-saat yang menjadi penentu, apakah dirimu akan menjadi orang bermutu, atau polisi akan memburu dirimu. Salah-salah gagal menjadi menantu, malah akan menjadi seteru.
Tembang asmarandana ngemu sifat : kesemsem.
Tembang  macapat asmarandana laras slendro barang miring  dengan titilaras dan cakepan dapat di down load pada link di bawah ini :
http://www.youtube.com/watch?v=BQLaDuVIUJU 

7. GAMBUH
Gambuh atau Gampang Nambuh, sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah sudah menjadi orang yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh. Belum pandai sudah berlagak pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar merasa cita-citanya sudah bersinar. Menjadikannya tak pandai melihat mana yang salah dan benar. Di mana-mana ingin diakui bak pejuang, walau hatinya tak lapang. Pahlawan bukanlah orang yang berani mati, sebaliknya berani hidup menjadi manusia sejati. Sulitnya mencari jati diri kemana-mana terus berlari tanpa henti.  Memperoleh sedikit sudah dirasakan banyak, membuat sikapnya mentang-mentang bagaikan sang pemenang. Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu yang didapatkannya seolah menjadi senjata ampuh tiada tertandingi lagi. Padahal pemahamannya sebatas kata orang. Alias belum bisa menjalani dan menghayati. Bila merasa ada  yang kurang, menjadikannya sakit hati dan rendah diri. Jika tak tahan ia akan berlari menjauh mengasingkan diri. Menjadi pemuda pemudi yang jauh dari anugrah ilahi. Maka, belajarlah dengan teliti dan hati-hati. Jangan menjadi orang yang mudah gumunan dan kagetan. Bila sudah paham hayatilah dalam setiap perbuatan. Agar ditemukan dirimu yang sejati sebelum raga yang dibangga-banggakan itu menjadi mati.
Tembang gambuh ngemu sifat : semanak, lucu, guyon.
Tembang  macapat gambuh laras pelog pathet 6  dengan titilaras dan cakepan dapat di down load pada link di bawah ini :
http://www.youtube.com/watch?v=RwA2Cw9ZuZM 

8. DURMA
Munduring tata krama. Dalam cerita wayang purwa dikenal  banyak tokoh dari kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja misalnya Dursasana, Durmagati,Duryudana. Dalam terminologi Jawa dikenal berbagai istilah menggunakan suku kata dur/ dura (nglengkara) yang mewakili makna negatif (awon). Sebut saja misalnya : duraatmokodurokodursiladura sengkaraduracara (bicara buruk), durajaya,dursahasyadurmaladurnitidurtadurtamaudur, dst.  Tembang Durma, diciptakan untuk mengingatkan sekaligus  menggambarkan keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk atau jahat. Manusia gemar udur atau cekcok, cari menang dan benernya sendiri, tak mau memahami perasaan orang lain. Sementara manusia cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri (nuruti rahsaning karep). Walaupun merugikan orang lain tidak peduli lagi. Nasehat bapa-ibu sudah tidak digubris dan dihiraukan lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati. Manusia walaupun tidak mau disakiti, namun gemar menyakiti hati. Suka berdalih niatnya baik, namun tak peduli caranya yang kurang baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi, suka bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti. Maka hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha.
Tembang durma ngemu sifat : galak, nesu.
Tembang  macapat durma laras pelog pathet barang  dengan titilaras dan cakepan dapat di down load pada link di bawah ini :
http://www.youtube.com/watch?v=ThrQDabn8Cc 

9. PANGKUR
Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang (mungkur) merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia terlambat mengkoreksi diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia lakukan, hingga kini yang ada  tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu. Merasa diri menjadi manusia renta yang hina dina sudah tak berguna.  Anak cucu kadang menggoda, masih meminta-minta sementara sudah tak punya lagi sesuatu yang berharga. Hidup merana yang dia punya tinggalah penyakit tua. Siang malam selalu berdoa saja, sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa.  Hidup enggan mati pun sungkan. Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana-ke mari ingin mengaji, tak tahu jati diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji. Tabungan menghilang sementara penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu untuk telentang di atas ranjang. Jangankan teriak lantang, anunya pun sudah tak bisa tegang, yang ada hanyalah mengerang terasa nyawa hendak melayang. Sanak kadhang enggan datang, karena ingat ulahnya di masa lalu yang gemar mentang-mentang. Rasain loh bentar lagi menjadi bathang..!!
Tembang pangkur ngemu sifat : nepsu kang prihatin.
Tembang  macapat pangkur laras pelog pathet 6 dengan titilaras dan cakepan dapat di down load pada link di bawah ini :
http://www.youtube.com/watch?v=2ilg05pAVoI 

10. MEGATRUH
Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga. Jika pegat tanpa aruh-aruh. Datanya ajal akan tiba sekonyong-konyong. Tanpa kompromi sehingga manusia banyak yang disesali.  Sudah terlambat untuk memperbaiki diri. Terlanjur tak paham jati diri. Selama ini menyembah tuhan penuh dengan pamrih dalam hati, karena takut neraka dan berharap-harap pahala surga. Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan yang sejati. Betapa kebaikan di dunia menjadi penentu yang sangat berarti. Untuk menggapai kemuliaan yang sejati dalam kehidupan yang azali abadi. Duh Gusti, jadi begini, kenapa diri ini sewaktu masih muda hidup di dunia fana, sewaktu masih kuat dan bertenaga, namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama. Menyesali diri ingat dulu kala telah menjadi durjana. Sembahyangnya rajin namun tak sadar sering mencelakai dan menyakiti hati sesama manusia. Kini telah tiba saatnya menebus segala dosa, sedih sekali ingat tak berbekal pahala. Harapan akan masuk surga, telah sirna tertutup bayangan neraka menganga di depan mata. Di saat ini manusia baru menjadi saksi mati, betapa penyakit hati menjadi penentu dalam meraih kemuliaan hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering merasa benci, iri hati, dan dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun tindakanya ia merasa paling pintar,  namun segala keburukannya dianggapnya demi membela diri.  Kini dalam kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa dimengerti, penyakit hati sangat merugikan diri sendiri. Duh Gusti…!
Tembang megatruh ngemu sifat : getun, nglangut.
Tembang  macapat megatruh laras pelog pathet barang dengan titilaras dan cakepan dapat di down load pada link di bawah ini :
http://www.youtube.com/watch?v=0TX1E-9vmxQ 

11. POCUNG
Pocung atau pocong adalah orang yang telah mati lalu dibungkus kain kafan. Itulah batas antara kehidupan mercapadha yang panas dan rusak dengan kehidupan yang sejati dan abadi. Bagi orang yang baik kematian justru menyenangkan sebagai kelahirannya kembali, dan merasa kapok hidup di dunia yang penuh derita. Saat nyawa meregang, rasa bahagia bagai lenyapkan dahaga mereguk embun pagi. Bahagia sekali disambut dan dijemput para leluhurnya sendiri. Berkumpul lagi di alam yang abadi azali. Kehidupan baru setelah raganya mati.
Tak terasa bila diri telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak mengenalinya lagi. Rasa sakit hilang badan menjadi ringan. Heran melihat raga sendiri dibungkus dengan kain kafan.  Sentuh sana sentuh sini tak ada yang mengerti. Di sana-di sini ketemu orang yang menangisi. Ada apa kok jadi begini, merasa heran kenapa sudah bahagia dan senang kok masih ditangisi. Ketemunya para kadhang yang telah lama nyawanya meregang. Dalam dimensi yang tenang, hawanya sejuk tak terbayang. Kemana mau pergi terasa dekat sekali. Tak ada lagi rasa lelah otot menegang. Belum juga sadar bahwa diri telah mati. Hingga beberapa hari barulah sadar..oh jasad ini telah mati. Yang abadi tinggalah roh yang suci.
Sementara yang durjana, meregang nyawa tiada yang peduli. Betapa sulit dan sakit meregang nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak kunjung mati. Bingung kemana harus pergi, toleh kanan dan kiri  semua bikin gelisah hati.  Seram mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa meradang. Walau mengerang tak satupun yang bisa menolongnya. Siapapun yang hidup di dunia pasti mengalami dosa. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana tak pernah luput menimbang kebaikan dan keburukan walau sejumput. Manusia baru sadar, yang dituduh kapir belum tentu kapir bagi Tuhan, yang dianggap sesat belum tentu sesat menurut Tuhan.  Malah-malah yang suka menuduh  menjadi tertuduh. Yang suka menyalahkan justru bersalah. Yang suka mencaci dan menghina justru orang yang hina dina. Yang gemar menghakimi orang akan tersiksa. Yang suka mengadili akan diadili. Yang ada tinggalah rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti pripun kok kados niki…! Oleh sebab itu, hidup kudu jeli, nastiti, dan ngati-ati. Jangan suka menghakimi orang lain yang tak sepaham dengan diri sendiri. Bisa jadi yang salah malah pribadi kita sendiri. Lebih baik kita selalu mawas diri, agar kelak jika mati arwahmu tidak nyasar menjadi memedi.
Tembang pocong ngemu sifat :
Tembang  macapat pocong laras slendro pathet manyura dengan titilaras dan cakepan dapat di down load pada link di bawah ini :
http://www.youtube.com/watch?v=n3sSYOBdtu8

Melik Nggendhong Lali

Melik Nggendhong Lali

Jejere wakil rakyat pancen sarwa cukup. Jejere menteri ya sarwa cukup uga. Jejere nayaka praja utawa punggawaning praja genah kabeh kabutuhan urip wis dicukupi dening pemerintah utawa negara. Ing kahanan mangkono kuwi mesthinya kudu nyambut gawe temen-temen kanggo ngudi raharjaning rakyat. Nanging kang dumadi kaya crita ing ngisor iki genah kosok balene, prasasat melik nggendhong lalu.
Nyandhang klambi werna putih, wanita kang duwe rambut dawa kuwi mlebu ing Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ing Jakarta, Januari kepungkur. Dheweke mesam-mesem ing ngarep para wartawan lan tamu pengadilan.
Ing wektu kuwi, wanita kang kadakwa nindakake korupsi kuwi kapatrapan paukuman kunjara suwene patang taun nenem sasi. Krungu vonis kasebut, anggota DPR, Angelina Sondakh utawa Angie, kuwi katon tetep ngumbar esem, kepara malah tambah bungah. Mbokmenawa jalaran paukumane luwih entheng tinimbang panjaluke jaksa.
Mundur ing 2001, Angie mimpang pamilihan Putri Indonesia lan banjur kondhang minangka selebritas. Dheweke banjur makili Indonesia ing pamilihan Miss Universe. Dheweke kapilih dadi Putri Indonesia jalatan praupane kang nengsemake lan lantip sarta preduli marang kahanan sosial.
Ayu lan pinter dadi pawitan Angie ambyur ing jagad politik, dadi anggota DPR 2004-2009 lan 2009-2012. Emane, dheweke banjur keblondrok ing laku nerak angger-angger, dolanan dhuwit kang dudu hake. Miturut dhosen Filsafat Ilmu ing Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Oesman Arif, para panguwasa akeh sing padha lali sapa sejatine dheweke nalika nyekel kuwasa. Akeh pacoban kayata bandha dunya, wong wadon, pangkat, jabatan lan liya-liyane.
”Kuwi tuladha wong sing srakah. Melik kuwi pengin sing ora dadi hake. Banjur piye carane supaya antuk, nganti lali ukum lan pranatan,” ujare Oesman nalika disowani Espos ing griyane, ing Jebres, Solo, Senen (18/2).
Para pejabat kang duwe pangkat dhuwur, kaya anggota DPR, samestine ora mikir mung kebutuhan pribadine utawa partai. Kudune luwih nengenake mikir kabutuhan rakyat Indonesia. Nalika wus rumangsa kepenak ngrasakake kursi panguwasa lan kabeh kabutuhan kacukupan, ana sing banjur lali sapa sejatine dheweke.
”Lali marang rakyate sing wus nglempengake dalan nggayuh panguwasa,” pratelane Oesman. Ing titi wanci iki, miturut Oesman, separangan akeh panguwasa mung nengenake golongane dhewe. Tumindake ora nuduhake minangka jejering wakil rakyat.
”Wajib setor dhuwit kanggo partai. Mula ya korupsine nganti atusan miliar, malah triliunan rupiyah,” piterange Oesman. Jan-jane, miturut Oesman, yen butuh dadi pejabat sing uripe tentrem, blanjan puluhan utawa atusan yuta rupiyah kuwi wus cukup. Ora prelu mburu miliaran lan triliunan rupiyah sing jan-jane dudu hake.
Kuwi katelah wong melik nggendhong lali, yakuwi wong sing srakah. Apa sebabe rata-rata panguwasa dadi srakah? Kuwi bisa amarga kapribaden lan kahanan. Sanajan duwe kapribaden mulya, nalika mlebu ing kahanan kang sarwa reget ya samesthine melu gupak.
Mula, sanajan dheweke ora lali marang kasajatene lan rakyate, nanging kanca-kancane lan golongane sarta partaine bisa wae meksa supaya dheweke nglakoni tumindak kang nerak angger-angger. ”Mula ukum kuwi kudu ngadeg jejeg. Ora di dol murah,” piterange Oesman.
Nalika ukum ora bisa njejegake rasa adil, tumindak ala ora bakal bisa ilang utawa suda. Akeh para pejabat korupsi amarga rumangsa kepenak uripe, kancane akeh, ora bakal kapatrapan paukuman kang abot. ”Angelina Sondakh mung diukum patang tahun. Kuwi genah ora adil,” piterange Oesman.
Ing negara China jaman kawuri, wong sing korupsi diukum mati sakulawargane. Iki supaya para pejabat ora lali marang kasajatene, ora lali rakyate kang urip sengsara. Saiki, ukuman mati uga tetep ditrapake dening pemerintah China amarga korupsi kuwi mungsuh negara.
“Ing kene [Indonesia], ora [mungsuh negara]. Nalika mlebu pakunjaran, akeh pejabat padha niliki. Dadi kancane koruptor malah bungah. Rumangsa kuwat lan bungah duwe kanca wong gedhe, sanajan maling,” pratelane Oesman.
Kere Munggah Bale
Miturut dhosen ing Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret (FSSR UNS), Christiana Dwi Wardhana, unen-unen melik nggendhong lali yaiku pepeling menawa ing urip iki akeh dalan lan pilihan. “Apa dalan sing migunani, lan ana dalan sing katone kepenak nanging kawusanane bakal sengsara lan urip ora tentrem,” ujare Christiana.
Melik yakuwi pepenginan, ambisi, mula kudu waspada jalaran pepenginan kuwi bisa njlomprongake manungsa dadi titah kang asor, luwih asor tinimbang kewan.  Manungsa ing jaman modheren akeh kang senang golek kepenake dhewe, ora liwat dalan kang samesthine. Supaya cepet munggah pangkat lan jabatan, banjur mbayar utawa nyogok.
”Wingi dudu sapa-sapa, saiki wus duwe pangkat dhuwur. Kere munggah bale,” pratelane Christiana. Melik kang ora bisa dikendhaleni bakal ngobong nafsu saengga lali purwaduksina. Lali menawa urip kuwi kawengku ing angger-angger, aturan, pranatan. Jalaran mburu melik, wusana kelalen. Melik nggendhong lali anjoge mesthi ora becik.

 

Senin, 29 Desember 2014

Ramalan Serat Jayabaya

Ramalan Serat Jayabaya


  1. Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran --- Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.
  2. Tanah Jawa kalungan wesi --- Pulau Jawa berkalung besi.
  3. Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang --- Perahu berjalan di angkasa.
  4. Kali ilang kedhunge --- Sungai kehilangan mata air.
  5. Pasar ilang kumandhang --- Pasar kehilangan suara.
  6. Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak --- Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
  7. Bumi saya suwe saya mengkeret --- Bumi semakin lama semakin mengerut.
  8. Sekilan bumi dipajeki --- Sejengkal tanah dikenai pajak.
  9. Jaran doyan mangan sambel --- Kuda suka makan sambal.
  10. Wong wadon nganggo pakeyan lanang --- Orang perempuan berpakaian lelaki.
  11. Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman--- Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik
  12. Akeh janji ora ditetepi --- Banyak janji tidak ditepati.
  13. keh wong wani nglanggar sumpahe dhewe--- Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri.
  14. Manungsa padha seneng nyalah--- Orang-orang saling lempar kesalahan.
  15. Ora ngendahake hukum Hyang Widhi--- Tak peduli akan hukum Hyang Widhi.
  16. Barang jahat diangkat-angkat--- Yang jahat dijunjung-junjung.
  17. Barang suci dibenci--- Yang suci (justru) dibenci.
  18. Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit--- Banyak orang hanya mementingkan uang.
  19. Lali kamanungsan--- Lupa jati kemanusiaan.
  20. Lali kabecikan--- Lupa hikmah kebaikan.
  21. Lali sanak lali kadang--- Lupa sanak lupa saudara.
  22. Akeh bapa lali anak--- Banyak ayah lupa anak.
  23. Akeh anak wani nglawan ibu--- Banyak anak berani melawan ibu.
  24. Nantang bapa--- Menantang ayah.
  25. Sedulur padha cidra--- Saudara dan saudara saling khianat.
  26. Kulawarga padha curiga--- Keluarga saling curiga.
  27. Kanca dadi mungsuh --- Kawan menjadi lawan.
  28. Akeh manungsa lali asale --- Banyak orang lupa asal-usul.
  29. Ukuman Ratu ora adil --- Hukuman Raja tidak adil
  30. Akeh pangkat sing jahat lan ganjil--- Banyak pejabat jahat dan ganjil
  31. Akeh kelakuan sing ganjil --- Banyak ulah-tabiat ganjil
  32. Wong apik-apik padha kapencil --- Orang yang baik justru tersisih.
  33. Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin --- Banyak orang kerja halal justru merasa malu.
  34. Luwih utama ngapusi --- Lebih mengutamakan menipu.
  35. Wegah nyambut gawe --- Malas untuk bekerja.
  36. Kepingin urip mewah --- Inginnya hidup mewah.
  37. Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka --- Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
  38. Wong bener thenger-thenger --- Orang (yang) benar termangu-mangu.
  39. Wong salah bungah --- Orang (yang) salah gembira ria.
  40. Wong apik ditampik-tampik--- Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-pong).
  41. Wong jahat munggah pangkat--- Orang (yang) jahat naik pangkat.
  42. Wong agung kasinggung--- Orang (yang) mulia dilecehkan
  43. Wong ala kapuja--- Orang (yang) jahat dipuji-puji.
  44. Wong wadon ilang kawirangane--- perempuan hilang malu.
  45. Wong lanang ilang kaprawirane--- Laki-laki hilang jiwa kepemimpinan.
  46. Akeh wong lanang ora duwe bojo--- Banyak laki-laki tak mau beristri.
  47. Akeh wong wadon ora setya marang bojone--- Banyak perempuan ingkar pada suami.
  48. Akeh ibu padha ngedol anake--- Banyak ibu menjual anak.
  49. Akeh wong wadon ngedol awake--- Banyak perempuan menjual diri.
  50. Akeh wong ijol bebojo--- Banyak orang gonta-ganti pasangan.
  51. Wong wadon nunggang jaran--- Perempuan menunggang kuda.
  52. Wong lanang linggih plangki--- Laki-laki naik tandu.
  53. Randha seuang loro--- Dua janda harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen).
  54. Prawan seaga lima--- Lima perawan lima picis.
  55. Dhudha pincang laku sembilan uang--- Duda pincang laku sembilan uang.
  56. Akeh wong ngedol ngelmu--- Banyak orang berdagang ilmu.
  57. Akeh wong ngaku-aku--- Banyak orang mengaku diri.
  58. Njabane putih njerone dhadhu--- Di luar putih di dalam jingga.
  59. Ngakune suci, nanging sucine palsu--- Mengaku suci, tapi palsu belaka.
  60. Akeh bujuk akeh lojo--- Banyak tipu banyak muslihat.
  61. Akeh udan salah mangsa--- Banyak hujan salah musim.
  62. Akeh prawan tuwa--- Banyak perawan tua.
  63. Akeh randha nglairake anak--- Banyak janda melahirkan bayi.
  64. Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne--- Banyak anak lahir mencari bapaknya.
  65. Agama akeh sing nantang--- Agama banyak ditentang.
  66. Prikamanungsan saya ilang--- Perikemanusiaan semakin hilang.
  67. Omah suci dibenci--- Rumah suci dijauhi.
  68. Omah ala saya dipuja--- Rumah maksiat makin dipuja.
  69. Wong wadon lacur ing ngendi-endi--- Perempuan lacur dimana-mana.
  70. Akeh laknat--- Banyak kutukan
  71. Akeh pengkianat--- Banyak pengkhianat.
  72. Anak mangan bapak---Anak makan bapak.
  73. Sedulur mangan sedulur---Saudara makan saudara.
  74. Kanca dadi mungsuh---Kawan menjadi lawan.
  75. Guru disatru---Guru dimusuhi.
  76. Tangga padha curiga---Tetangga saling curiga.
  77. Kana-kene saya angkara murka --- Angkara murka semakin menjadi-jadi.
  78. Sing weruh kebubuhan---Barangsiapa tahu terkena beban.
  79. Sing ora weruh ketutuh---Sedang yang tak tahu disalahkan.
  80. Besuk yen ana peperangan---Kelak jika terjadi perang.
  81. Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor---Datang dari timur, barat, selatan, dan utara.
  82. Akeh wong becik saya sengsara--- Banyak orang baik makin sengsara.
  83. Wong jahat saya seneng--- Sedang yang jahat makin bahagia.
  84. Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul--- Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
  85. Wong salah dianggep bener---Orang salah dipandang benar.
  86. Pengkhianat nikmat---Pengkhianat nikmat.
  87. Durjana saya sempurna--- Durjana semakin sempurna.
  88. Wong jahat munggah pangkat--- Orang jahat naik pangkat.
  89. Wong lugu kebelenggu--- Orang yang lugu dibelenggu.
  90. Wong mulya dikunjara--- Orang yang mulia dipenjara.
  91. Sing curang garang--- Yang curang berkuasa.
  92. Sing jujur kojur--- Yang jujur sengsara.
  93. Pedagang akeh sing keplarang--- Pedagang banyak yang tenggelam.
  94. Wong main akeh sing ndadi---Penjudi banyak merajalela.
  95. Akeh barang haram---Banyak barang haram.
  96. Akeh anak haram---Banyak anak haram.
  97. Wong wadon nglamar wong lanang---Perempuan melamar laki-laki.
  98. Wong lanang ngasorake drajate dhewe---Laki-laki memperhina derajat sendiri.
  99. Akeh barang-barang mlebu luang---Banyak barang terbuang-buang.
  100. Akeh wong kaliren lan wuda---Banyak orang lapar dan telanjang.
  101. Wong tuku ngglenik sing dodol---Pembeli membujuk penjual.
  102. Sing dodol akal okol---Si penjual bermain siasat.
  103. Wong golek pangan kaya gabah diinteri---Mencari rizki ibarat gabah ditampi.
  104. Sing kebat kliwat---Yang tangkas lepas.
  105. Sing telah sambat---Yang terlanjur menggerutu.
  106. Sing gedhe kesasar---Yang besar tersasar.
  107. Sing cilik kepleset---Yang kecil terpeleset.
  108. Sing anggak ketunggak---Yang congkak terbentur.
  109. Sing wedi mati---Yang takut mati.
  110. Sing nekat mbrekat---Yang nekat mendapat berkat.
  111. Sing jerih ketindhih---Yang hati kecil tertindih
  112. Sing ngawur makmur---Yang ngawur makmur
  113. Sing ngati-ati ngrintih---Yang berhati-hati merintih.
  114. Sing ngedan keduman---Yang main gila menerima bagian.
  115. Sing waras nggagas---Yang sehat pikiran berpikir.
  116. Wong tani ditaleni---Orang (yang) bertani diikat.
  117. Wong dora ura-ura---Orang (yang) bohong berdendang.
  118. Ratu ora netepi janji, musna panguwasane---Raja ingkar janji, hilang wibawanya.
  119. Bupati dadi rakyat---Pegawai tinggi menjadi rakyat.
  120. Wong cilik dadi priyayi---Rakyat kecil jadi priyayi.
  121. Sing mendele dadi gedhe---Yang curang jadi besar.
  122. Sing jujur kojur---Yang jujur celaka.
  123. Akeh omah ing ndhuwur jaran---Banyak rumah di punggung kuda.
  124. Wong mangan wong---Orang makan sesamanya.
  125. Anak lali bapak---Anak lupa bapa.
  126. Wong tuwa lali tuwane---Orang tua lupa ketuaan mereka.
  127. Pedagang adol barang saya laris---Jualan pedagang semakin laris.
  128. Bandhane saya ludhes---Namun harta mereka makin habis.
  129. Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan---Banyak orang mati lapar di samping makanan.
  130. Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara---Banyak orang berharta tapi hidup sengsara.
  131. Sing edan bisa dandan---Yang gila bisa bersolek.
  132. Sing bengkong bisa nggalang gedhong---Si bengkok membangun mahligai.
  133. Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil---Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.
  134. Ana peperangan ing njero---Terjadi perang di dalam.
  135. Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham---Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
  136. Durjana saya ngambra-ambra---Kejahatan makin merajalela.
  137. Penjahat saya tambah---Penjahat makin banyak.
  138. Wong apik saya sengsara---Yang baik makin sengsara.
  139. Akeh wong mati jalaran saka peperangan---Banyak orang mati karena perang.
  140. Kebingungan lan kobongan---Karena bingung dan kebakaran.
  141. Wong bener saya thenger-thenger---Si benar makin tertegun.
  142. Wong salah saya bungah-bungah---Si salah makin sorak sorai.
  143. Akeh bandha musna ora karuan lungane---Banyak harta hilang entah ke mana
  144. Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe---Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
  145. Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram---Banyak barang haram, banyak anak haram.
  146. Bejane sing lali, bejane sing eling---Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar.
  147. Nanging sauntung-untunge sing lali---Tapi betapapun beruntung si lupa.
  148. Isih untung sing waspada---Masih lebih beruntung si waspada.
  149. Angkara murka saya ndadi---Angkara murka semakin menjadi.
  150. Kana-kene saya bingung---Di sana-sini makin bingung.
  151. Pedagang akeh alangane---Pedagang banyak rintangan.
  152. Akeh buruh nantang juragan---Banyak buruh melawan majikan.
  153. Juragan dadi umpan---Majikan menjadi umpan.
  154. Sing suwarane seru oleh pengaruh---Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh.
  155. Wong pinter diingar-ingar---Si pandai direcoki.
  156. Wong ala diuja---Si jahat dimanjakan.
  157. Wong ngerti mangan ati---Orang yang mengerti makan hati.
  158. Bandha dadi memala---Hartabenda menjadi penyakit
  159. Pangkat dadi pemikat---Pangkat menjadi pemukau.
  160. Sing sawenang-wenang rumangsa menang --- Yang sewenang-wenang merasa menang
  161. Sing ngalah rumangsa kabeh salah---Yang mengalah merasa serba salah.
  162. Ana Bupati saka wong sing asor imane---Ada raja berasal orang beriman rendah.
  163. Patihe kepala judhi---Maha menterinya benggol judi.
  164. Wong sing atine suci dibenci---Yang berhati suci dibenci.
  165. Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat---Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
  166. Pemerasan saya ndadra---Pemerasan merajalela.
  167. Maling lungguh wetenge mblenduk --- Pencuri duduk berperut gendut.
  168. Pitik angrem saduwure pikulan---Ayam mengeram di atas pikulan.
  169. Maling wani nantang sing duwe omah---Pencuri menantang si empunya rumah.
  170. Begal pada ndhugal---Penyamun semakin kurang ajar.
  171. Rampok padha keplok-keplok---Perampok semua bersorak-sorai.
  172. Wong momong mitenah sing diemong---Si pengasuh memfitnah yang diasuh
  173. Wong jaga nyolong sing dijaga---Si penjaga mencuri yang dijaga.
  174. Wong njamin njaluk dijamin---Si penjamin minta dijamin.
  175. Akeh wong mendem donga---Banyak orang mabuk doa.
  176. Kana-kene rebutan unggul---Di mana-mana berebut menang.
  177. Angkara murka ngombro-ombro---Angkara murka menjadi-jadi.
  178. Agama ditantang---Agama ditantang.
  179. Akeh wong angkara murka---Banyak orang angkara murka.
  180. Nggedhekake duraka---Membesar-besarkan durhaka.
  181. Ukum agama dilanggar---Hukum agama dilanggar.
  182. Prikamanungsan di-iles-iles---Perikemanusiaan diinjak-injak.
  183. Kasusilan ditinggal---Tata susila diabaikan.
  184. Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi---Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
  185. Wong cilik akeh sing kepencil---Rakyat kecil banyak tersingkir.
  186. Amarga dadi korbane si jahat sing jajil---Karena menjadi kurban si jahat si laknat.
  187. Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit---Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit.
  188. Lan duwe prajurit---Dan punya prajurit.
  189. Negarane ambane saprawolon---Lebar negeri seperdelapan dunia.
  190. Tukang mangan suap saya ndadra---Pemakan suap semakin merajalela.
  191. Wong jahat ditampa---Orang jahat diterima.
  192. Wong suci dibenci---Orang suci dibenci.
  193. Timah dianggep perak---Timah dianggap perak.
  194. Emas diarani tembaga---Emas dibilang tembaga
  195. Dandang dikandakake kuntul---Gagak disebut bangau.
  196. Wong dosa sentosa---Orang berdosa sentosa.
  197. Wong cilik disalahake---Rakyat jelata dipersalahkan.
  198. Wong nganggur kesungkur---Si penganggur tersungkur.
  199. Wong sregep krungkep---Si tekun terjerembab.
  200. Wong nyengit kesengit---Orang busuk hati dibenci.
  201. Buruh mangluh---Buruh menangis.
  202. Wong sugih krasa wedi---Orang kaya ketakutan.
  203. Wong wedi dadi priyayi---Orang takut jadi priyayi.
  204. Senenge wong jahat---Berbahagialah si jahat.
  205. Susahe wong cilik---Bersusahlah rakyat kecil.
  206. Akeh wong dakwa dinakwa---Banyak orang saling tuduh.
  207. Tindake manungsa saya kuciwa---Ulah manusia semakin tercela.
  208. Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi---Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai.
  209. Wong Jawa kari separo---Orang Jawa tinggal setengah.
  210. Landa-Cina kari sejodho --- Belanda-Cina tinggal sepasang.
  211. Akeh wong ijir, akeh wong cethil---Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.
  212. Sing eman ora keduman---Si hemat tidak mendapat bagian.
  213. Sing keduman ora eman---Yang mendapat bagian tidak berhemat.
  214. Akeh wong mbambung---Banyak orang berulah dungu.
  215. Akeh wong limbung---Banyak orang limbung.
  216. Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka---Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman.
Bait Terakhir Ramalan Jayabaya Bait 140 s/d 151
140. polahe wong Jawa kaya gabah diinteri\ endi sing bener endi sing sejati\ para tapa padha ora wani\ padha wedi ngajarake piwulang adi\ salah-salah anemani pati\
141. banjir bandang ana ngendi-endi\ gunung njeblug tan anjarwani, tan angimpeni\ gehtinge kepathi-pati marang pandhita kang oleh pati geni\ marga wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti\
142. pancen wolak-waliking jaman\ amenangi jaman edan\ ora edan ora kumanan\ sing waras padha nggagas\ wong tani padha ditaleni\ wong dora padha ura-ura\ beja-bejane sing lali,\ isih beja kang eling lan waspadha\
143. ratu ora netepi janji\ musna kuwasa lan prabawane\ akeh omah ndhuwur kuda\ wong padha mangan wong\ kayu gligan lan wesi hiya padha doyan\ dirasa enak kaya roti bolu\ yen wengi padha ora bisa turu\
144. sing edan padha bisa dandan\ sing ambangkang padha bisa\ nggalang omah gedong magrong-magrong\
145. wong dagang barang sangsaya laris, bandhane ludes\ akeh wong mati kaliren gisining panganan\ akeh wong nyekel bendha ning uriping sengsara\
146. wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil\ sing ora abisa maling digethingi\ sing pinter duraka dadi kanca\ wong bener sangsaya thenger-thenger\ wong salah sangsaya bungah\ akeh bandha musna tan karuan larine\ akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebabe\
147. bumi sangsaya suwe sangsaya mengkeret\ sakilan bumi dipajeki\ wong wadon nganggo panganggo lanang\ iku pertandhane yen bakal nemoni\ wolak-walike zaman\
148. akeh wong janji ora ditepati\ akeh wong nglanggar sumpahe dhewe\ manungsa padha seneng ngalap,\ tan anindakake hukuming Allah\ barang jahat diangkat-angkat\ barang suci dibenci\
149. akeh wong ngutamakake royal\ lali kamanungsane, lali kebecikane\ lali sanak lali kadang\ akeh bapa lali anak\ akeh anak mundhung biyung\ sedulur padha cidra\ keluarga padha curiga\ kanca dadi mungsuh\ manungsa lali asale\
150. ukuman ratu ora adil\ akeh pangkat jahat jahil\ kelakuan padha ganjil\ sing apik padha kepencil\ akarya apik manungsa isin\ luwih utama ngapusi\
151. wanita nglamar pria\ isih bayi padha mbayi\ sing pria padha ngasorake drajate dhewe\

Bait 152 sampai dengan 156 hilang
 157. wong golek pangan pindha gabah den interi\ sing kebat kliwat, sing kasep kepleset\ sing gedhe rame, gawe sing cilik keceklik\ sing anggak ketenggak, sing wedi padha mati\ nanging sing ngawur padha makmur\ sing ngati-ati padha sambat kepati-pati\
158. cina alang-alang keplantrang dibandhem nggendring\ melu Jawa sing padha eling\ sing tan eling miling-miling\ mlayu-mlayu kaya maling kena tuding\ eling mulih padha manjing\ akeh wong injir, akeh centhil\ sing eman ora keduman\ sing keduman ora eman\
159. selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun\ sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu\ bakal ana dewa ngejawantah\ apengawak manungsa\ apasurya padha bethara Kresna\ awatak Baladewa\ agegaman trisula wedha\ jinejer wolak-waliking zaman\ wong nyilih mbalekake,\ wong utang mbayar\ utang nyawa bayar nyawa\ utang wirang nyaur wirang\
160. sadurunge ana tetenger lintang kemukus lawa\ ngalu-ngalu tumanja ana kidul wetan bener\ lawase pitung bengi,\ parak esuk bener ilange\ bethara surya njumedhul\ bebarengan sing wis mungkur prihatine manungsa kelantur-lantur\ iku tandane putra Bethara Indra wus katon\ tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa\
161. dunungane ana sikil redi Lawu sisih wetan\ wetane bengawan banyu\ andhedukuh pindha Raden Gatotkaca\ arupa pagupon dara tundha tiga\ kaya manungsa angleledha\
162. akeh wong dicakot lemut mati\ akeh wong dicakot semut sirna\ akeh swara aneh tanpa rupa\ bala prewangan makhluk halus padha baris, pada rebut benere garis\ tan kasat mata, tan arupa\ sing madhegani putrane Bethara Indra\ agegaman trisula wedha\ momongane padha dadi nayaka perang\ perange tanpa bala\ sakti mandraguna tanpa aji-aji
163. apeparap pangeraning prang\ tan pokro anggoning nyandhang\ ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang\ sing padha nyembah reca ndhaplang,\ cina eling seh seh kalih pinaringan sabda hiya gidrang-gidrang\
164. putra kinasih swargi kang jumeneng ing gunung Lawu\ hiya yayi bethara mukti, hiya krisna, hiya herumukti\ mumpuni sakabehing laku\ nugel tanah Jawa kaping pindho\ ngerahake jin setan\ kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo\ kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda\ landhepe triniji suci\ bener, jejeg, jujur\ kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong\
165. pendhak Sura nguntapa kumara\ kang wus katon nembus dosane\ kadhepake ngarsaning sang kuasa\ isih timur kaceluk wong tuwa\ paringane Gatotkaca sayuta\
166. idune idu geni\ sabdane malati\ sing mbregendhul mesti mati\ ora tuwo, enom padha dene bayi\ wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada\ garis sabda ora gentalan dina,\ beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira\ tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa\ nanging inung pilih-pilih sapa\
167. waskita pindha dewa\ bisa nyumurupi lahire mbahira, buyutira, canggahira\ pindha lahir bareng sadina\ ora bisa diapusi marga bisa maca ati\ wasis, wegig, waskita,\ ngerti sakdurunge winarah\ bisa pirsa mbah-mbahira\ angawuningani jantraning zaman Jawa\ ngerti garise siji-sijining umat\ Tan kewran sasuruping zaman\
168. mula den upadinen sinatriya iku\ wus tan abapa, tan bibi, lola\ awus aputus weda Jawa\ mung angandelake trisula\ landheping trisula pucuk\ gegawe pati utawa utang nyawa\ sing tengah sirik gawe kapitunaning liyan\ sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda\
169. sirik den wenehi\ ati malati bisa kesiku\ senenge anggodha anjejaluk cara nistha\ ngertiyo yen iku coba\ aja kaino\ ana beja-bejane sing den pundhuti\ ateges jantrane kaemong sira sebrayat\
170. ing ngarsa Begawan\ dudu pandhita sinebut pandhita\ dudu dewa sinebut dewa\ kaya dene manungsa\ dudu seje daya kajawaake kanti jlentreh\ gawang-gawang terang ndrandhang\
171. aja gumun, aja ngungun\ hiya iku putrane Bethara Indra\ kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan\ tumurune tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh\ hiya siji iki kang bisa paring pituduh\ marang jarwane jangka kalaningsun\ tan kena den apusi\ marga bisa manjing jroning ati\ ana manungso kaiden ketemu\ uga ana jalma sing durung mangsane\ aja sirik aja gela\ iku dudu wektunira\ nganggo simbol ratu tanpa makutha\ mula sing menangi enggala den leluri\ aja kongsi zaman kendhata madhepa den marikelu\ beja-bejane anak putu\
172. iki dalan kanggo sing eling lan waspada\ ing zaman kalabendu Jawa\ aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa\ cures ludhes saka braja jelma kumara\ aja-aja kleru pandhita samusana\ larinen pandhita asenjata trisula wedha\ iku hiya pinaringaning dewa\
173. nglurug tanpa bala\ yen menang tan ngasorake liyan\ para kawula padha suka-suka\ marga adiling pangeran wus teka\ ratune nyembah kawula\ angagem trisula wedha\ para pandhita hiya padha muja\ hiya iku momongane kaki Sabdopalon\ sing wis adu wirang nanging kondhang\ genaha kacetha kanthi njingglang\ nora ana wong ngresula kurang\ hiya iku tandane kalabendu wis minger\ centi wektu jejering kalamukti\ andayani indering jagad raya\ padha asung bhekti\

Minggu, 28 Desember 2014

Landheping Krikil

Landheping Krikil

 

Langit Kutha Solo awan iku resik, ora kaya dina-dina kepungkur sing amung mendhung angendanu lan pijer nggrejeh wae. Mega tipis pancen ngrenggani akasa, nanging datan nuduhake tenger bakal udan. Angin sumidit alus nilasake hawa seger. Ewasemana tiba kosok-bali tumrap atine Sayekti, dhadhane krasa semumpel, prasasat kinebakan mendhung lelimengan. Anyel, mangkel, sedhih, nesu, campur-adhuk dadi siji.
Sapa sing ora rumangsa tatu lan pingget ati, jejering wanita kablenjani tresnane. Pancen iki crita wis kaprah, wanita ditinggal slingkuh sing lanang. Nanging kanyatan iku saiki wis wela-wela gumelar ing ngarepe. Njur sapa bisa kandha lumrah. Embuh, iblis ngendi kang manjing ing atine sing lanang. Mengku wanita kaya Sayekti, sing wis ayu. Kathik darbe pakaryan mesthi, ewasemana isih ngumbar ati baya. Kencut wanita liya.
Jaman pancen wis kliwat gendheng, tatatanan, paugeran, moral lan tata-susila selot dadi bab sing kurang kajen. Akeh sing padha ngidak-idak kautaman, embuh iku sing buruh apa majikan, sing mlarat apa sing sugih, sing nganggur apa pejabat. Mbokmanawa bener, jagade wis arep digulung, giliran akeh manungsa kentekan petung.
Sayekti, kerep katlikung rasa bingung. Banjur bakal tumindak piye dheweke? Mula dina iki dheweke mlayu saka kantor, atine katindhih rasa isin. Kepengin ngipatake rasa sing banget lara iki, pirang-pirang pambudi katindakake nanging kaya methuki dalan buntu. Sansaya mlayu ngadoh, sansaya wela-wela wewayangane sing lanang kang lagi andon tresna klawan wanita liya. Periiih!
“Mbok wis Dhik, aja mbokgawe abot. Harak jagad ora mung sagodhong kelor, priya ora mung Guntara. Isih akeh lho wong lanang liya sing gelem setya. Aku yakin kowe bakal gampang golek gantine. Malah sing luwih saka kuwi,” Murti kanca sakantor ngarih-arih.
“Sajane ya wis dakcoba kanggo kuwi, Mbak. Nanging ati iki tetep wangkal kanggo nampa kanyatan,” Sayekti nanduki klawan mripat kembeng-kembeng.
Pancen Guntara, priya sing wiwit rong taun kepungkur ngisi ati ing dina-dinane dudu perkara gampang kanggo dilalekake. Guntara kanthi pawakan sedheng, pakulitan resik lan brengos tipis iku pindha dermaga mungguh Sayekti. Papan kanggo jumangkah utawa ngluruhake sayah ing sela-selaning dina ngrakit impen uripe. Eman, dermaga iku saiki rubuh, kerut ing ombak lamis.
“Aku ngerti kuwi pancen abot, Dhik Yekti. Lara-laraning atine wanita, yen kacidrani priya sing ditresnani. Mula sing sabar wae ya,” maneh Murti nglipur.
Dudu amung Murti sing semune welas klawan lelakone Sayekti, akeh kanca kantore kang trenyuh. Embuh iku Rina, Damar, luwih-luwih Santosa. Kanca kantore siji iki ora mung cukup welas, nanging melu ngigit-igit klawan trekahe bojone Sayekti.
“Ora idhep eman cah ayu-ayu kok kagawe lara ati,” mangkono grenenge Santosa sawijine dina. “Mbok katimbang disia-sia dilungsurke aku wae, wis mesthi bakal daklela-lela,” celathune Santosa sing pancene isih legan iku kasusul guyune sakanca kabeh.
Mancik tengah dina, kutha Solo tambah sumelet. Ratan Slamet Riyadi sansaya kinebakan kendharaan. Sinawang saka kadohan prasasat padha bujung-binujung, embuh padha mbeburu apa. Siji lan sijine kaya terus adu banter, adu dhisik, kaya kaselak katinggal wektu. Kaselak ora komanan marang apa sing padha dadi rebutan dina iku. Bledig binledig, njarah pepenginan. Ing kutha iki selot angel nemokake ati sareh, sabar lan sumeleh.
Semono uga rasa kang terus kabudi dening Sayekti, kanggo sabar ngadhepi lelakon kang katemben nyandhung uripe tetep angel kacandhak. Dhadhane tetep kinebakan rasa goreh, mangkel lan nesu. Wis pirang-pirang dina mbudi kanggo sabar tetep wae cabar. Ana rasa kang loruu.., periiih.., sing angel dikipatake.
Saiki jangkahe Sayekti mancik ing undhak-undhakan sawijine mall sing kondhang gedhe ing Kutha Bengawan iki. Dheweke mecaki jrambah klawan ati suwung. Senadyan kiwa lan tengene pating sliri pawongan kang padha ngumbar mata golek panglipur. Ewasemana Sayekti rumangsa katindhih sepi. Prasasat kabeh sing sinawang katon wong-wong asing kang ora ditepungi. Wong-wong mau padha sesliweran, embuh mbeburu apa ana papan kang kaanggep super mewah iku.
Semu. Wong-wong saiki amung kapincut semu. Papan mewah iki amung dhapur ngandelake rasa goroh. Mall mentereng klawan barang-barang larang lan luks satemene lamis wae. Wong-wong sing teka kuwi satemene nyelaki batine. Dudu iki sakjane sing dibutuhake dening ati. Kabagyan mono tetep manggon ing kaprasajan. Apa anane. Njur apa tegese wong-wong iku teka kene, yen sing ana iki satemene ora nate bisa paweh pemarem? Suwalike tambah gawe sansaya ngelak.
Mbokmanawa mangkono uga kang saiki nguwasani atine Guntara, kanggo apa dheweke kecanthol wanita liya. Njur golek apa? Guntara sajake kapeksa nggorohi atine dhewe. Ing sisihe wanita kang setya kathik kecanthol wanita liya kang durung genah apa sing ana jroning atine. Guntara mbokmanawa kalebu priya kang ora gelem sinau marang apa kang wis akeh kelakon. Ora mung uripe, ajining dhiri, bisa-bisa kalungguhan katut kerut awit panggodhaning tresna lamis.
“Sayekti…, bener iki Sayekti ta?” dumadakan swara iki teka lan medhot pikirane Sayekti sing lagi kabandhang ing lamunan.
Sayekti nanduki klawan manthuk alon lan cukup mesem tipis.
“Eh, kowe lali ta, Yekti? Aku kanca SMA, Riyan? Riyan sing kulina nggodha awakmu biyen,” priya sing ngaku Riyan mau nuli lungguh ing kursi sangarepe Sayekti.
“Iya aku eling, kowe Riyan ta?” sabanjure Sayekti nanduki.
“Sokur kowe eling, Yek. Trus, geneya kowe ana kene ijen? Lagi rolasan, tugas apa nglipur ati ya, kok sajak suntrut? Apa…,?”
“E, trus piye nggonku mangsuli kok pitakonmu mbrubul ngono,” Sayekti munggel.
“Oya, sepurane. Terlalu semangat,” Riyan mesem kecut.
Nuli sakarone kanca lawas mau padha kabadhang ing lelakon kawuri. Salumrahe kanca lawas sing ora nate ketemu lan saiki bisa sapejagong. Mulane karasa kaku, wektu candhake Sayekti kaya nemu panglipur. Satemah sawetara lali marang lelakon peteng kang nindhih uripe. Ndilalahe Riyan kalebu pribadi sing gumyak, sumanak lan lucu. Malah patemon dina kuwi asring kasambung ing dina- dina sabanjure.

***

“Kowe ora ijen, Yek. Ora sithik, embuh wanita apa priya sing wis kacidrani sih tresnane ing jagad iki. Kalebu priya sing ana ngarepmu uga kurban katresnan lamis,” mangkono Riyan nanduki critane Sayekti .
Sayekti nggragap, ora ngira Riyan darbe nasib padha klawan awake.
“Awakmu ditinggal wanita sing mboktresnani?”
“Ora mung ditinggal. Nanging wanita mau uga gawe pitenah. Saengga aku sing didakwa kulawargaku apadene kulawargane sing ngrusak rumah-tangga,“ wangsulane Riyan sing selot gawe Sayekti kaburu ewon pitakon.
Murih Sayekti marem, tumuli Riyan nyritakake kabeh lelakon kang tumempuh ing panguripane. Nganti pungkasane bali urip ijen, malah kudu nanggung anak siji sing katinggal dening ibu sing kudune ngesok sih tresnane. Krungu kuwi kabeh Sayekti amung jegreg. Tan bisa kumecap. Rasane katlikung trenyuh.
Panyawange rumambat ing pang-pang trembesi sing jenggereng ing kompleks Taman Sri Wedari. Atine Sayekti tambah angluh. Geneya kudu mangkono lelakon tresna sing nuli kasandhang manungsa. Endi sing salah, endi sing durung pener. Kamangka saelinge tresna kang karonce klawan Guntara uga ora sadhela. Luwih saka rong taun Sayekti sesambungan rasa klawan Guntara sadurunge netepake kanggo nikah.
“Ati, ati Yek, ati sing keri saka lakon tresna kita sakloron. Bener kandhane para sepuh, yen gegarane wong akrami mono dudu bandha dudu rupa. Tresna mono kudu kawangun kanthi ati. Awit sabenere ing kono dununge kekuwatan. Eman, kita rumangsa keminter lan nyelehake rupa apadene bandha minangka kiblating tresna,” mangkono Riyan nuduhake apa sing luput saka uripe.
“Ning, saiki apa ana wong darbe pikiran ngono,” Sayekti bali kembeng-kembeng.
“Pancen angel, mula ora mokal wangunan bale wisma saiki banget ringkih. Sing ana amung sarwa lamis, saiki tresna sesuk bisa gegethingan. Kamangka sih tresna sing rosa mono sing sansaya cerak klawan ati. Iku kang katuduhake dening para sepuh kita biyen. Nadyan urip sarwa prasaja, nanging gampang ngranggeh kabagyan awit sakalire karacik mawa dayaning ati,” kandhane Riyan selot gawe atine Sayekti ngondhok-ndhok.
Nedhenge loro kanca lawas mau kasok ing ulegane rasa, sambung klawan landheping krikil lelakon uripe dhewe-dhewe, dumadakan kagawe kaget. Ing ratan gedhe sangerep Taman Sri Wedari papan sakarone sapejagong katon wong-wong rame padha nyaketi ing tengah dalan. Malah Sayekti lamat-lamat krungu aloke wong yen mentas wae ana sing nglalu. Kagawa insting wartawan, Riyan age nggandheng sayekti kanggo ngungak apa sing satenane dumadi.
Saiba kagete Sayekti. Datan ngira pawongan kang padha dirubung lan prasasat adus getih sawuse mencolot saka jembatan penyebrangan mau, tetela wong sing salawase iki banget ditepungi.
“Mas Guntara….,” Sayekti jumelih lan sabanjure wis ora eling apa-apa.

 

Jumat, 26 Desember 2014

Jenis Metrum Macapat

Jenis Metrum Macapat


Jumlah metrum baku macapat ada limabelas buah. Lalu metrum-metrum ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Kategori tembang cilik memuat sembilan metrum, tembang tengahan enam metrum dan tembang gedhé satu metrum.
Ada beberapa jenis tembang macapat. masing-masing jenis tembang tersebut memiliki aturan berupa guru lagu dan guru wilangan masing-masing yang berbeda-beda. Yang paling dikenal umum ada 11 jenis tembang macapat. Yaitu, Pucung, Megatruh, Pangkur, Dangdanggula, dll. Lebih lengkap nya sebagai berikut,
  1. Pangkur berasal dari nama punggawa dalam kalangan kependetaan seperti tercantum dalam piagam-piagam berbahasa jawa kuno. Dalam Serat Purwaukara, Pangkur diberiarti buntut atau ekor. Oleh karena itu Pangkur kadang-kadang diberi sasmita atau isyarat tut pungkur berarti mengekor dan tut wuntat berarti mengikuti.
  2. Maskumambang berasal dari kata mas dan kumambang. Mas dari kata Premas yaitu punggawa dalam upacara Shaministis. Kumambang dari kata Kambang dengan sisipan – um. Kambang dari kata Ka- dan Ambang. Kambangselain berarti terapung, juga berarti Kamwang atau kembang. Ambang ada kaitannya dengan Ambangse yang berarti menembang atau mengidung. Dengan demikian, Maskumambang dapat diberi arti punggawa yang melaksanakan upacara Shamanistis, mengucap mantra atau lafal dengan menembang disertai sajian bunga. Dalam Serat Purwaukara, Maskumambang diberi arti Ulam Toya yang berari ikan air tawar, sehingga kadang-kadang di isyaratkan dengan lukisan atau ikan berenang.
  3. Sinom ada hubungannya dengan kata Sinoman, yaitu perkumpulan para pemuda untuk membantu orang punya hajat. Pendapat lain menyatakan bahwa Sinom ada kaitannya dengan upacara-upacara bagi anak-anak muada zaman dahulu. Dalam Serat Purwaukara, Sinom diberi arti seskaring rambut yang berarti anak rambut. Selain itu, Sinom juga diartikan daun muda sehingga kadang-kadang diberi isyarat dengan lukisan daun muda.
  4. Asmaradana berasal dari kata Asmara dan Dhana. Asmara adalah nama dewa percintaan. Dhana berasal dari kata Dahana yang berarti api. Nama Asmaradana berkaitan denga peristiwa hangusnya dewa Asmara oleh sorot mata ketiga dewa Siwa seperti disebutkan dalam kakawin Smaradhana karya Mpu Darmaja. Dalam Serat Purwaukara, Smarandana diberi arti remen ing paweweh, berarti suka memberi.
  5. Dhangdhanggula diambil dari nama kata raja Kediri, Prabu Dhandhanggendis yang terkenal sesudah prabu Jayabaya. Dalam Serat Purwaukara, Dhandhanggula diberi arti ngajeng-ajeng kasaean, bermakna menanti-nanti kebaikan.
  6. Durma dari kata jawa klasik yang berarti harimau. Sesuai dengan arti itu, tembangDurma berwatak atau biasa diguanakan dalam suasana seram.
  7. Mijil berarti keluar. Selain itu , Mijil ada hubungannya dengan Wijil yang bersinonim dengan lawang atau pintu. Kata Lawang juga berarti nama sejenis tumbuh-tumbuhan yang bunganya berbau wangi. Bunga tumbuh-tumbuhan itu dalam bahasa latin disebut heritiera littoralis.
  8. Kinanthi berarti bergandengan, teman, nama zat atau benda , nam bunga. Sesuai arti itu, tembang Kinanthi berwatak atau biasa digunakan dalam suasana mesra dan senang.
  9. Gambuh berarti ronggeng, tahu, terbiasa, nama tetumbuhan. Berkenaan dengan hal itu, tembang Gambuh berwatak atau biasa diguanakan dalam suasana tidak ragu-ragu.
  10. Pucung adalah nama biji kepayang, yang dalam bahasa latin disebut Pengium edule. Dalam Serat Purwaukara, Pucung berarti kudhuping gegodhongan ( kuncup dedaunan ) yang biasanya tampak segar. Ucapan cung dalam Pucung cenderung mengacu pada hal-hal yang bersifat lucu, yang menimbulkan kesegaran, misalnya kucung dan kacung. Sehingga tembang Pucung berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.
  11. Megatruh berasal dari awalan am, pega dan ruh. Pegat berarti putus, tamat, pisah, cerai. Dan ruh berarti roh. Dalam Serat Purwaukara, Megatruh diberi arti mbucal kan sarwa ala ( membuang yang serba jelek ). Pegat ada hubungannya dengan peget yang berarti istana, tempat tinggal. Pameget atau pamegat yang berarti jabatan. Samgat atau samget berarti jabatan ahli, guru agama. Dengan demikian, Megatruh berarti petugs yang ahli dalam kerohanian yang selalu menghindari perbuatan jahat.
Ada pula yang memasukkan tembang gede dan tembang tengahan ke dalam macapat. Tembang-tembang tersebut antara lain
  1. Wirangrong berarti trenyuh ( sedih ), nelangsa ( penuh derita ), kapirangu ( ragu-ragu ),. Namun dalam teks sastra, Wirangrong digunakan dalam suasana berwibawa.
  2. Jurudemung berasal dari kata juru yang berarti tukang, penabuh, dan demung yang berarti nama sebuah perlengkapan gamelan. Dengan demikian, Jurudemung dapat berarti penabuh gamelan. Dalam Serat Purwaukara, Jurudemung diberi arti lelinggir kang landep atau sanding (pisau) yang tajam.
  3. Girisa berarti arik (tenang), wedi (takut), giris (ngeri). Girisa yang berasal dari bahasa Sansekerta, Girica adalah nama dewa Siwa yang bertahta di gunung atau dewa gunung, sehingga disebut Hyang Girinata. Dalam Serat Purwaukara, Girisa diberi arti boten sarwa wegah, bermakna tidak serba enggan, sehingga mempunyai watak selalu ingat.
  4. Balabak, dalam Serat Purwaukara diberi arti kasilap atau terbenam. Apabila dihubungkan dengan kata bala dan baka, Balabak dapat berarti pasukan atau kelompok burung Bangau. Apabila terbang, pasukan burung Bangau tampak santai. Oleh karena itu tembang Balabak berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.

Kamis, 25 Desember 2014

Ngulir Budi

Ngulir Budi

 

Albert Einstein sing kondhang kaloka kae lair ing Ulm, Jerman, 14 Maret 1879. Nalika isih bocah lan ngrembaka dadi remaja, dheweke ora kapetung bocah pinter. Miturut andharan ing sawetara buku kang nyritakake riwayate, nalika wiwit mlebu sekolah Einstein kapetung bocah sing kangelan nampa wulangan saka guru-gurune. 

Miturut andharan ing sawetara buku, Einstein uga kangelan nampa wulangan Matematika. Dheweke malah kaprah diarani bocah nakal lan bocah ndableg. Nalika ngancik dewasa lan wancine mandhireng pribadi, dheweke uga kapetung wong sing ora genah. Ing kantor senenge mung lonthang-lanthung.

Kahanan owah temen-temen nalika Einstein dewasa. Bakate wiwit ketara. Ngancik dewasa iki Einstein dadi seneng ndhudhah filsafat lan mikir kanthi cakepan ilmiah. Ing 1921, Albert Einstein nampa bebungah Nobel jalaran panalitene. Lan miturut andharan ing sawetara buku, ora mung teori relativitas sing dilairake Einstein.
Einstein uga ndhudhah lan ngrembakakake teori efek fotolistrik, teori kuantum cahaya, mekanika kuantum lan maneka teori liyane ing wewengkon ilmu Fisika. Lan, kanyata, Einstein uga nulis babagan kabudayan, seni, kapitayan lan maneka tulisan babagan manungsa lan kamanungsan.
Einstein nuduhake lamun pendhidhikan kuwi dudu laku gawe barang. Dheweke ndunungake pendhidhikan minangka laku ngulir budi. Nalika laku ngulir budi kuwi dumadi kanthi apik, asile mesthi apik. Sinau minangka peranganing pendhidhikan ora bisa dipathok ing wujud tinamtu utawa ing pathokan kang asipat baku.
Miturut Einstein, bebener ing jagad pendhidhikan kuwi kawujud saka dialektika, saka laku ngulir budi kang anjoge ndhudhah ilmu. Sawijining bebener bisa wae jugar jalaran ana bebener kang anyar. Laku ngulir budi ora bakal kandheg amarga ora kawengku ing wujud utawa pepesthen kang asipat baku.
Ngulir budi mujudake laku kang tanpa kendhat kanggo ngudi bebener kang tanpa wates. Ngulir budi ing jagad pendhidhikan iki nengenake laku, dudu asil. Kanthi mangkono, sekolahan kang lelandhesan laku ngulir budi ora mung wates dadi papan nyekoki para siswa. Ilmu kuwi dudu barang mati.
Ing pangajab murih ilmu ora mati, sekolah kudu tansah nggegulang para siswa supaya tansah ora kendhat anggone ngulir budi. Bocah sing nembe sinau kuwi ora nglakoni jejer minangka baut yang jejibahane nggathukake perangan siji lan sijine. Bocah sing nembe sinau kudu didunungake minangka pribadi. Dheweke dadi subjek utawa jejer, paraga. Minangka jejer, bocah ya kudu ngempakake dayane urip, ya ngulir budi kuwi mau.
Sekolah wajib njurung para siswa urip temen-temen, ora mung ndunungake siswa kadidene gelas sing diisi banyu nganti kebak. Kapribadene para siswa ora bisa diracik, digawe, diukir kanthi pangucap, nanging kudi sinartan laku. Gegayuhan kang dhuwur, gegayuhan kang luhur, tan bakal kaconggah mung lumantar pocapan, tetembungan utawa tulisan.
Bocah kudu ”digitik” supaya kuwawa ngulir budi, ngracik langkah, ngudi dalan kanggo nggayuh apa kang dadi gegayuhan ing dina tembe mburi. Iki bakal bisa kawujud lamun pendhidhikan ing sekolahan lan kulawarga nengenake laku, nengenake ngulir budi. Wajibe guru ing sekolah mesthi wae ora mung mulangake ilmu nanging uga kudu nyengkuyung ngrembakane jiwa lan kapribadene para bocah.
Guru kudune ora mung mulang. Wajibe guru ya ndhidhik para siswa, nggegulang para siswa. Nggegulang ateges ora mung wates netepi wajibe kurikulum. Wose nggegulang ora liya ngrembakakake jiwa lan kapribadene bocah jumbuh apa kabisan lan bakate bocah kuwi. Guru sing mung netepi wajibe kurikulum tangeh lamun bakal nggayuh tataran iki. Lan yen ora kasil nggayuh tataran iki ateges ora kuwawa njurung bocah ngulir budi.
Ing laku ngulir budi kuwi, bocah dijarke ngudi apa sing dadi gegayuhane. Wusana, bocah bakal bisa netepake laku kanggo nuju gegayuhane. Ngulir budi iki ngejibke laku pendhidhikan kang asipat mardikakake jiwane bocah. Bocah kang mardika bakal kuwawa ngudi dalan urip nuju kamulyan tumrap pribadine lan tumrap sapadha-padha.

 

Selasa, 23 Desember 2014

Pengertian Macapat

Pengertian Macapat


Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu. Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali, Sasak, Madura, dan Sunda. Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang dan Banjarmasin. Biasanya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula. Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab, di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru, pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat. Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya semacam 'daftar isi' saja. Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat termasuk Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha.
Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Macapat digolongkan kepada kepada kategori tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé berdasarkan kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuna, namun dalam penggunaannya pada masa Mataram Baru, tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek. Di sisi lain tembang tengahan juga bisa merujuk kepada kidung, puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.
Kalau dibandingkan dengan kakawin, aturan-aturan dalam macapat berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada bahasa Sanskerta, dalam macapat perbedaan antara suku kata panjang dan pendek diabaikan.

Etimologi

Pada umumnya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula. Seorang pakar Sastra Jawa, Arps menguraikan beberapa arti-arti lainnya di dalam bukunya Tembang in two traditions.
Selain yang telah disebut di atas ini, arti lainnya ialah bahwa -pat merujuk kepada jumlah tanda diakritis (sandhangan) dalam aksara Jawa yang relevan dalam penembangan macapat.
Kemudian menurut Serat Mardawalagu, yang dikarang oleh Ranggawarsita, macapat merupakan singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang artinya ialah "melagukan nada keempat". Selain maca-pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan maca-tri-lagu. Konon maca-sa termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri. Ternyata ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama tembang gedhé. Maca-ro termasuk tipe tembang gedhé di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara jumlah sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara. Maca-tri atau kategori yang ketiga adalah tembang tengahan yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya. Dan akhirnya, macapat atau tembang cilik diciptakan oleh Sunan Bonang dan diturunkan kepada semua wali.

Sejarah macapat

Secara umum diperkirakan bahwa macapat muncul pada akhir masa Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam. Sebagai contoh ada sebuah teks dari Bali atau Jawa Timur yang dikenal dengan judul Kidung Ranggalawé dikatakan telah selesai ditulis pada tahun 1334 Masehi. Namun di sisi lain, tarikh ini disangsikan karena karya ini hanya dikenal versinya yang lebih mutakhir dan semua naskah yang memuat teks ini berasal dari Bali.
Sementara itu mengenai usia macapat, terutama hubungannya dengan kakawin, mana yang lebih tua, terdapat dua pendapat yang berbeda. Prijohoetomo berpendapat bahwa macapat merupakan turunan kakawin dengan tembang gedhé sebagai perantara. Pendapat ini disangkal oleh Poerbatjaraka dan Zoetmulder. Menurut kedua pakar ini macapat sebagai metrum puisi asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin. Maka macapat baru muncul setelah pengaruh India semakin pudar.

Struktur macapat

Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap pupuh dibagi menjadi beberapa pada. Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama. Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.
Jumlah pada per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan. Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra. Sementara setiap larik atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda. Setiap gatra jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula.
Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan. Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.



Minggu, 21 Desember 2014

Nggegulang Generasi Bangsa Kuwi Kewajibane Bebrayan Ageng

Nggegulang Generasi Bangsa Kuwi Kewajibane Bebrayan Ageng


Kelas Inspirasi yakuwi kridhane para profesional ngedum ilmu lan pengalaman gegayutan profesine marang bocah-bocah ing sekolah dasar (SD). Adicara kang digagas Indonesia Mengajar  sing dipangarsani Anies R Baswedan (Rektor Universitas Paramadina Jakarta) kasebut diadani kutha-kutha ing Indonesia, yakuwi, Jakarta, Surabaya, Pekanbaru, Bandung, Jogja lan Solo.
Ing Kutha Solo, Kelas Inspirasi mapan ing 10 SD lan ana 98 profesional sing maragani dadi guru suwene setengah dina. Para guru setengah dina kuwi asline saka maneka jinis profesi, yakuwi wartawan, public relations, apoteker, montir, desainer, animator, pegawe perpajakan lan liya-liyane.
Miturut Supriyadi, guru ing SDN Dukuhan, Kerten, Laweyan, Solo sing dadi salah siji SD papan adicara Kelas Inspirasi, adiacara kasebut apik banget lan wigati tumrap para guru lan murid.
“Murid antuk swasana anyar, sanajan mung sedina. Akeh murid padha seneng, lan akeh sing pengin ana acara kaya ngene iki maneh,” ujare Supriyadi. Kelas Inspirasi uga nambah kawruhe para guru sing saben dina nggegulang para siswa ing SDN kuwi. Para guru dadi tambah kawruh kanggo njurung para siswa murih duwe gegayuhan sakdhuwur-dhuwure.
“Muga-muga wae ora mung sepisan iki. Yen bisa saben semester nalika ana wektu longgar bisa dimupangatake kanggo adicara mangkene iki,” pratelane Supriyadi sing ing SDN kesbut dadi guru olahraga.
Guru senior ing SDN Serengan 2 Solo, Suwarsih, mratelakake pehak sekolah sumadya kapan wae nyengkuyung Kelas Inspirasi mewana bakal diadani maneh. “Akeh ilmu anyar sing bisa dikawruhi para siswa lan guru,” ujare Suwarsih.
Salah siji siswa Kelas VI SDN Dukukan, Kerten, Laweyan, Solo Novita, 11, nelakake rasa bungah lan senenge jalaran antuk ilmu anyar saka para pasarta Kelas Inspirasi. ”Diajari akeh, diajari wawancara, dicritane keprite kepenake dadi wartawan, bisa lunga tekan luar negeri, ketemu artis. Uga diajari gawe desain sandhangan,” ujare Novita.
Lambang, 10, siswa Kelas V SDN Serengan 2, Solo, rumangsa  begja kemayangan jalaran bisa guneman lan kalawan wong ing Australia, amarga salah siji pasarta Kelas Inspirasi ing kelase nggawa piranti kang kasambung Internet lan program Skype.
Kelas Inspirasi, miturut Supriyadi lan Suwarsih, kuwawa ndhudhah rasa preduli saka warga bebrayan ageng lamun pendhidhikan kuwi ora mung kuwajibane para guru ing sekolah. Pendhidhikan tumrap generasi bangsa iki uga dadi tanggung jawabe kabeh warga bebrayan ageng.
Miturut Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret (FKIP UNS), M Furqon Hidayatullah, Kelas Inspirasi kadidene ngesok hawa seger ing jagad pawiyatan ing sekolah-sekolah.  Para profesional kanti suka lila ngedum pengalaman urip kang tundhone bakal njurung kridhane para siswa murih temen-temen nggayuh urip kang becik ing tembe mburi.
”Siji kang prelu digatekake, yakuwi ora uwal saka kompetensi pendhidhikan. Kurikulum lan kompetensi pendhidhikan tetep kang utama. Kompetensi kuwi ora liya nggayuh kawujude manungsa kang paripurna lair lan batin,” ujare Furqon. Miturut Furqon, lumantar Kelas Inspirasi kuwi para guru kang sejati uga antuk pengalaman anyar kang ing tembe mburine bisa didayakake murih anggone nggegulang para siswa bisa sansaya luwih apik.

 

Jumat, 19 Desember 2014

Kuncung Bawuk, Sandal Jepit Anyar, lan Udan Awu Gunung Kelud

Kuncung Bawuk, Sandal Jepit Anyar, lan Udan Awu Gunung Kelud 

Esuk-esuk naliko wis kalung anduk arep adus, Kuncung kaget weruh langit isih peteng ndedet kaya tengah wengi, padahal wis wayahe jam enem esuk. Dheweke sansaya kaget weruh saka cendela menawa plataran omahe rupane dadi abu-abu. Kabeh barang ning latar dadi hitam putih kaya foto jaman mbiyen. Wit-witan sing maune ijo dadi abu-abu. Semana ugo suketan dadi abu-abu semu putih. Gendeng pendopo katon abu-abu, blumbang iwak emas saiki rupane putih kaya kolam susu.

"Wah, iki mesti udan awu meneh" celathune Kuncung

Kuncung krungu Bapakne ngendika menawa saiki lagi udan awu amarga Gunung Kelud njebluk. Katone awune luwih akeh tinimbang naliko Gunung Merapi njebluk sawetara taun kepungkur. Padahal Merapi kur 20 kilometer sisih lor Jogja. Lha iki Gunung Kelud rak neng Jawa Timur, cedhak kutho Kediri. Jarake mesti ora kurang saka 250 kilometer, nanging kok awune luwih akeh? duniashinichi.blogspot.com

"Kuncung sajake Gunung Kelud energine luwih gedhe dibanding Gunung Merapi, dadi jeblukane luwih gedhe lan awune luwih akeh. Apike kowe rasah mlebu sekolah ndisik. Tak kiro sekolahmu ya bakal prei, amarga mbebayani menawa bocah-bocah pada mangkat sekolah ning kahanan kaya ngene. Mengko iso padha kecelakaan amarga dalan lunyu lan jarak pandang terbatas. Kesehatan mripat lan paru-paru uga iso keganggu dening awu gunung berapi" ngendikane Bapakne Kuncung 

"Wo ngono ya Pak. Gunung Kelud jeblukane luwih nggegirisi dibanding Gunung Merapi. Lha iki awu pirang-pirang iki nek kudanan rakyo gendenge awake dhewe dadi resik tho. Kaya bar diasahi nganggo awu!"

"Yo ora ngono kuwi Kuncung. Mengko menawa udane awu wis rampung awake dhewe kudu enggal resik-resik gendeng ben ora kabotan menawa kudanan. Awu tambah banyu dadi abot banget lan iso marakke gendenge ora kuwat nyangga bobote awu teles" ngendikane Bapakne.

"Wah nek ngono aku mengko melu resik-resik yo Pak. Lha ning sandal jepitku anyar je. Piye iki nek kena awu bakal dadi reget. Padahal le tuku we ning Joger je. Digawa adoh-adoh saka Bali bareng piknik sekolah wingi, kok tekan kene malah kur diregeti awu!"

"Mas Kuncung!. Sandalmu sing anyar kuwi disimpen wae ning lemari ben ora kena awu. Mengko nek reget rakyo sing getun kowe. Mengko nalika resik-resik nganggo sandal lawas wae. Eman-eman banget menawa sandalmu dadi reget" saur adhine sing dumadakan metu saka kamare.

"Hooh bener kowe Bawuk. Apike sandalku tak bungkus koran trus tak singgahke ning lemari. Ben ora keno awu" jawabe Kuncung

"Ya wis sakarepmu. Ngono ya rapapa" ngendikane Bapak karo ngampet ngguyu weruh anak-anake pada eman-eman banget marang sandal jepite Kuncung. Tumrap bocah cilik, saukur sandal jepit wis kalebu barang berharga.

Nanging Bapakne Kuncung banjur mikir menawa dheweke pada wae karo Kuncung, kur beda porsine. Mesthine tumrap wong soleh kaya Pak Haji -- dheweke sing isih makantil-kantil marang barang-barang kaya mobil, motor lan pomahan -- dianggep pada karo Kuncung sing seneng banget marang sandal jepite.

^_^

Udan awu Gunung Kelud wis suda dina esuke. Bapak, Kuncung lan adhine pada kerja bakti resik-resik ning njaban omah. Ibune resik-resik njero omah sing uga reget kena awu. Mesthi wae Kuncung ora nganggo sandal jepite anyar sing isih dieman-eman. Dheweke trimo nganggo sandal lawas sing wis dipeniteni amarga taline wis jebol. Pembuangan sandal lawas ditunda ngantek resik-resik bekas udan awu rampung.

Bapakne Kuncung menek nduwur gendeng terus nyaponi awu sing tememplek ning gendeng nganti resik. Kuncung nawu blumbang iwak sing rupane dadi putih coklat kaya kopi susu. Bawuk nyemproti wit-witan sing rupane dadi putih amarga kebak awu, ben ora pada alum. Sedino nutuk wong telu kuwi resik-resik njaban omah ngantek bengine pada turu nglinthek amarga kekeselen.  

Esuke sakwise adus, Kuncung kelingan karo sandal jepite sing anyar. Sandale sing lawas enggal-enggal dibuwang ning tempat sampah. Bar kuwi dheweke nggoleki sandal anyar ning lemari. Digolek-goleki ngantek setengah jam ora ketemu. Banjur takon marang Ibune sing wingi resik-resik njero omah.

"Ibu, panjenengan weruh sandalku sing anyar ora? Wingi tak delehke ning nduwur lemari!"

"Ora weruh je Cung. Wingi pancen ana sandal dibungkus koran ning duwur lemari. Nanging iku sandalmu sing lawas wong ketok sithik rupane kuning. Kowe iki rada sembrono. Deleh sandal jebol kok ning nduwur lemari. Mbok dibuwang wae, rakyo ngisin-ngisini menawa nganti konangan Eyangmu. Wingi sandal lawasmu  wis tak buang bareng sampah liyane ning gerobak sampah, nalika Pak Tukang Sampah liwat" ngendikane Ibune

"Aduh Ibu! Aduh Ibu! Piye iki, piye iki. Sing dibuwang kuwi sandalku sing anyar! Sandal jepit anyar le nggawa adoh-adoh saka Bali...." 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting