Mitos Runtuhnya Majapahit dan Mitos Gunung Kelud
di Jawa Timur
"Yoh, Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping-kaping,
yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, lan Tulungagung dadi
kedung" ~Lembu Sura~
Kalimat di atas adalah "sepatan"
alias kutukan yang diucapkan Lembu Sura, tokoh legenda yang mewarnai
sejarah Kabupaten Kediri di Jawa Timur. Juga, sejarah kerajaan
Majapahit.
Ada beragam versi soal Lembu Sura yang berakhir dengan kutukan dan
menjadi sejarah lisan kehadiran Gunung Kelud ini. Meski demikian, semua
bertutur tentang cara seorang perempuan cantik menolak lamaran Lembu
Sura.
Satu versi, adalah cerita dengan perempuan cantik Dewi Kilisuci yang
adalah anak Jenggolo Manik. Versi lain, ini adalah kisah tentang Dyah
Ayu Pusparani, putri dari Raja Brawijaya, penguasa tahta Majapahit. Ada
versi-versi lain tetapi inti cerita sama.
Kisah ini bermula dari kecantikan yang tersohor, mendatangkan para
pelamar, sayangnya yang datang tak sesuai harapan. Tak enak menolak,
maka cara sulit diterapkan. Tak beda dengan kisah Rorojonggrang dan
legenda candi Prambanan.
Namun, dalam legenda Gunung Kelud, pelamar sang putri ini masih pula
bukan manusia. Dia makhluk berkepala lembu. Itulah Lembu Sura.
Untuk menolak lamaran Lembu Sura, dibuatlah syarat pembuatan sumur
sangat dalam hanya dalam waktu semalam. Tak dinyana, Lembu Sura ini
punya kekuatan dan kemampuan untuk mewujudkan syarat itu.
Melihat perkembangan tak menggembirakan, sang putri pun menangis.
Ayahnya, dalam versi kisah yang mana pun, kemudian memerintahkan para
prajurit untuk menimbun Lembu Sura yang masih terus menggali di sumur
persyaratan itu.
Batu demi batu dimasukkan ke lubang sumur, menjadi sebentuk bukit
menyembul karena ada Lembu Sura di dalamnya. Saat batu dilemparkan,
Lembu Sura masih memohon untuk tak ditimbun.
Begitu menyadari bahwa permohonannya akan sia-sia, keluarlah
"sepatan" sebagaimana menjadi kutipan di atas. Sejak saat itulah legenda
Gunung Kelud dan kedahsyatan letusan maupun dampaknya mengemuka.
Hancurnya Majapahit
Terlepas dari mitos Lembu Sura, tiga wilayah yang disebut dalam
kutukannya itu memang kemudian luluh lantak. Para ahli sejarah
memperkirakan letusan pada1586 yang menewaskan lebih dari 10.000 orang
adalah akhir dari sejarah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Betul, catatan sejarah menyebutkan Kerajaan Majapahit diperkirakan
runtuh pada kisaran angka tahun 1478. Namun, para sejarawan hari ini pun
mengakui masih banyak yang belum terkuak soal sejarah kerajaan itu,
seperti misalnya dugaan ada dua Majapahit pada satu masa.
Apa Kaitannya dengan Gunung Kelud? Tentu Saja Letusannya
Sebelum letusan pada 2007, setidaknya sejak awal abad 1900-an
diketahui bahwa kawah Gunung Kelud memiliki danau. Kecuali letusan pada
2007, letusannya pun diketahui bertipe eksplosif, termasuk letusan pada
Kamis (13/2/2014) malam.
Dalam sebuah wawancara mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi, Sumber Daya
Alam, dan Mineral (ESDM) Surono mengatakan keberadaan danau di kawah ini
sama bahayanya dengan lontaran material padat dari letusan gunung.
Surono yang pada Jumat (14/2/2014) diangkat menjadi Kepala Badan
Geologi, mengatakan lontaran air dari danau kawah, bila masih ada, bisa
mencapai sekitar 37,5 kilometer. Sudah air panas, bercampur magma, masih
dipadukan dengan seratusan juta ton material padat yang terlontar.
Kira-kira, karena tak ada catatan sejarahnya, itulah yang terjadi
pada letusan 1586. Namun, bukan pula letusan itu saja yang menyebabkan
korban jiwa mencapai lebih dari 10.000 jiwa. Dampak sesudah letusan, tak
kurang buruknya.
Diduga, kematian puluhan ribu orang itu juga disebabkan kelaparan.
Dengan muntahnya air danau kawah, lontaran material padat, dan abu
vulkanik yang mematikan tanaman, dapat diduga tak ada pasokan makanan
yang bisa disediakan dalam jumlah besar untuk jumlah warga pada saat
itu.
Membaca Simbol Tradisi Lisan untuk Mitigasi Bencana
Inilah yang kemudian diduga sebagai penyebab benar-benar paripurnanya
sejarah kerajaan Majapahit, menutup beragam konflik politik internal
zaman itu, maupun legenda kutukan Lembu Sura.
Sebagai gambaran, letusan pada 1919 yang notabene relatif lebih
modern dibandingkan kondisi pada 1586, juga menewaskan ribuan orang.
Angka yang tercatat adalah 5.160 orang. Letusan pada 1919 inilah yang
mengawali dilanjutkannya upaya pembangunan terowongan di kaki gunung
berketinggian 1.731 meter tersebut.
Terowongan-terowongan tersebut berfungsi mengurangi volume air di
kawah danau. Catatan tertua tentang upaya mengurangi dampak dari lahar
cair, gabungan magma dan air danau yang mendidih, adalah "kelahiran"
Sungai Harinjing yang sekarang dikenal sebagai Sungai Sarinjing di Desa
Siman, Kecamatan Kepung, Kediri. Sungai ini merupakan sudetan dari
Sungai Konto.
Kehadiran Sungai Serinjing tercatat dalam prasasti Harinjing di Desa
Siman. Dalam prasasti yang dikenal pula sebagai Prasasti Sukabumi itu,
tertera angka tahun 921 M. Di situ diceritakan soal pembangunan
bendungan dan sungai yang dimulai pertama kali pada 804 M.
Terowongan pengalir air dari danau kawah buatan 1926, setelah letusan
pada 1919, masih berfungsi sampai sekarang. Namun, setelah letusan
1966, Pemerintah Indonesia membangun terowongan baru yang lokasinya 45
meter di bawah terowongan lama.
Terowongan baru yang rampung dibangun pada 1967 ini diberi nama
Terowongan Ampera. Fungsinya menjaga volume air danau kawah tak lebih
dari 2,5 juta meter kubik. Volume air di kawah Gunung Kelud susut dan
hanya menyisakan genangan pada letusan efusif 2007.
Pada letusan Kamis (13/2/2014) malam, air danau bisa jadi bukan lagi
ancaman. Namun, terbukti pada malam itu bawa Gunung Kelud masih memiliki
ciri letusan eksplosif.
Lontaran material padat vulkanik pada letusan terbesar pada pukul
23.30 WIB mencapai ketinggian 17 kilometer, ketika letusan pertama
melontarkan material hingga setinggi 3 kilometer.
Jangkauan abu vulkanik letusan Gunung Kelud pada malam itu pun
menyebar luas mengikuti arah angin, menyebar luas di Jawa Tengah dan
menjangkau Jawa Barat.
Bisa jadi gabungan antara pembangunan saluran-saluran air yang telah
menghadirkan 11 sungai berhulu di gunung itu, letusan efusif yang
menyurutkan air danau kawah, dan persiapan yang lebih baik menjadi
faktor yang meminimalkan jumlah korban.
Namun, barangkali pekerjaan rumah tetap belum habis. Berdasarkan
catatan sejarah, Gunung Kelud memiliki pola letusan berjeda pendek,
antara 9 sampai 25 tahun.
Walaupun korban jiwa yang jatuh dalam dua hari ini bukan karena
dampak langsung letusan, tetapi fakta sangat pendeknya tenggat waktu
antara peningkatan status Awas sampai terjadi letusan pada Kamis malam,
tetap merupakan sebuah catatan baru.
Jarak waktu peningkatan status hingga terjadinya letusan, tak sampai
dua jam. Kalaupun kutukan Lembu Sura tak lagi relevan sebagai mitos,
barangkali perlu dibaca ada simbol-simbol budaya dalam tradisi lisan
sebagai "kode" mitigasi bencana.
Percaya atau tidak, hari ini selain 11 sungai ada di Kediri, di
Tulungagung pun ada Bendungan Wonorejo, dan Blitar menjadi sebidang
tanah datar di kawasan yang dikelilingi danau dan sungai itu. Agak
terdengar familiar? Betul, kalimat dalam legenda Lembu Sura.
0 komentar:
Posting Komentar